Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional

Written By akademi la masia on Selasa, 28 Februari 2012 | 06.42

Bila kita akan melihat pengertian pendidikan dari segi bahasa, maka kita harus melihat kepada kata Arab karena ajaran Islam itu diturunkan dalam bahasa tersebut. Kata pendidikan yang umumnya kita gunakan sekarang, dalam bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah”, dengan kata kerja “rabba”. Kata pengajaran dalam bahasa Arabnya adalah “ta’lim” dengan kata kerjanya “allama”. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa Arabnya “Tarbiyah wa Ta’lim”, sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah Islamiyah”.[1]
Kata kerja rabba (mendidik) sudah digunakan pada zaman Nabi Muhammad SAW seperti terlihat dalam ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam ayat Al-Qur’an kata ini digunakan dalam susunan sebagai berikut:

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الزَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيْرًا

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil”. (QS. Al-Isra’ [17] : 24).
Sedangkan menurut istilah Pendidikan Islam adalah sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya; beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah  di muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran Al-Qur’an dan sunnah, maka tujuan dalam konteks ini berarti terciptanya insan-insan kamil setelah proses pendidikan berakhir.[2]
Pada hakikatnya pendidikan agama Islam adalah upaya transfer nilai-nilai agama, pengetahuan dan budaya yang dilangsungkan secara berkesinambungan sehingga nilai-nilai itu dapat menjadi sumber motivasi dan aspirasi serta tolok ukur dalam perbuatan dan sikap maupun pola berpikir. Sementara tekad bangsa Indonesia yang selalu ingin kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sangat kuat. Berdasarkan tekad itu pulalah maka kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya semakin mendapat tempat yang kuat dalam organisasi dan struktur pemerintahan.
Pembangunan Nasional memang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Hal ini berarti adanya keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara pembangunan bidang jasmani dan rohani antar bidang material dan spritual, antara bekal keduniaan dan ingin berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama manusia dan dengan lingkungan hidupnya secara seimbang. Pembangunan seperti ini menjadi pangkal tolak pembangunan bidang agama.
Di sisi lain, yang menjadi sasaran pembangunan jangka panjang di bidang agama adalah terbinanya iman bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam kehidupan yang selaras, seimbang dan serasi antara lahiriah dan rohaniah, mempunyai jiwa dinamis dan semangat gotong royong, sehingga bangsa Indonesia sanggup meneruskan perjuangan untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional. Ringkasnya bahwa ditinjau dari segi falsafah negara Pancasila dari konstitusi UUD 1945 dan berdasarkan keputusan-keputusan MPR tentang GBHN, maka kehidupan beragama dan pendidikan agama di Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 sampai berakhirnya pelaksanaan Pembangunan Jangka Panjang Tahap I hingga sekarang ini semakin membaik.
Adapun makalah sederhana ini berusaha sedikit mengupas sepak terjang serta perkembangan pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia, yang dimulai sejak awal kemerdekaan hingga UUSPN No. 20/2003.
Semoga makalah ini bermanfaat.
A. Kebijakan Pendidikan Islam Awal Kemerdekaan sampai dengan Peristiwa G30S-PKI  (Tahun 1945 – 1965)
Penyelenggaraan pendidikan agama pasca kemerdekaan mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga, sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) 27 Desember 1945 menyebutkan bahwa Madrasah dan pesantren pada hakikatnya adalah suatu alat dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat, berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata tuntutan dan bantuan material dari pemerintah.[3]
Selanjutnya setelah Indonesia merdeka, kondisi pendidikan agama semakin membaik, dan mendapatkan perhatian yang serius dari pihak pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Ini dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga, sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) tanggal 27 Desember 1945, yang menyebutkan bahwa Madrasah dan Pesantren pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah menyumbangkan perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.[4]
Meskipun Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaannya dan sedang menghadapi revolusi fisik, tetapi pemerintah tetap berbenah diri dalam mempertahankan masalah pendidikan yang dianggap cukup vital dan menentukan. Maka dibentuklah Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) dan Ki Hajar Dewantara sebagai Menterinya. Satu di antara realisasi dari pembentukan PP dan K ini adalah mengubah sistem pendidikan dan menyesuaikannya dengan keadaan yang baru. Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan ini merupakan perubahan yang bersifat mendasar, yaitu perubahan yang menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa Indonesia yang merdeka.
Kementrian PP dan K pada saat itu mengeluarkan instruksi umum yang isinya memerintahkan kepada para kepala sekolah dan guru-guru, yaitu:
  1. Mengubarkan bendera merah-putih setiap hari di halaman sekolah.
  2. Menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
  3. Menghentikan pengibaran bendera Jepang dan menghapuskan nyanyian Kimigayo, lagu kebangsaan Jepang.
  4. Menghapuskan pelajaran bahasa Jepang, serta segala ucapan dan istilah yang berasal dari pemerintah Jepang.
  5. Memberi semangat kebangsaan kepada semua murid
Selain dari kebijakan-kebijakan tersebut, tindakan selanjutnya yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan dan aspirasi rakyat, sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 yang berbunyi:
  1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran
  2. Pemerintah mengusahakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan ketentuan konstitusi di atas, pembatasan pemberian pendidikan disebabkan perbedaan agama, sosial, ekonomi dan golongan yang ada di masyarakat tidak dikenal lagi. Dengan demikian, setiap anak Indonesia dapat memilih kemana dia akan belajar, sesuai dengan kemampuan dan minatnya.[5] Seiring dengan perjalan sejarah bangsa Indonesia, sejarah kebijakan pendidikan pun tetap mengambil posisinya, termasuk di dalamnya pendidikan Islam. Pembinaan pendidikan agama secara formal institusional dipercayakan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Maka dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama untuk mengelola pendidikan agama di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta.
Khusus untuk mengelola pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah umum tersebut, maka pada tanggal 2 Desember 1946, diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri PP dan K dengan Menteri Agama, yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum (negeri dan swasta), yang berada di bawah naungan kementerian PP dan K. Sejak saat itu terjadi semacam dualisme pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan Agama dan pendidikan Umum. Di satu pihak Departemen PP dan K mengelola pendidikan agama yang mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional. Keadaan ini sempat dipertentangkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak senang dengan adanya pendidikan agama, terutama golongan komunis, sehingga ada kesan seakaan-akan pendidikan agama khususnya Islam, terpisah dari pendidikan.[6]
Dan kemudian dilanjutkan dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Pendidikan Nomor 4 tahun 1950 dan Undang-Undang Pendidikan Nomor 12 Tahun 1954 Bab XII pasal 20 tentang pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri[7], berbunyi:
  1. Dalam sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orangtua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
  2. Cara penyelenggaran pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.
Penjelasan Bab XII pasal 20 tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Apakah suatu jenis sekolah memberi pelajaran agama adalah tergantung pada umur dan kecerdasan murid-muridnya.
  2. Murid-murid yang sudah dewasa boleh menetapkan ikut atau tidaknya ia dalam pelajaran agama.
  3. Sifat pengajaran agama dan jumlah jam pelajaran ditetapkan dalam undang-undang tentang jenis sekolahnya.
  4. Pelajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas anak.
Menganai hak orangtua dalam hal pendidikan agama ditentukan sebagai berikut:
  1. Orangtua menentukan, apakah anaknya mengikuti pelajaran agama atau tidak (untuk pelaksanannya Inspeksi Pengajaran mengeluarkan formulir untuk itu)
  2. Hal yang dimaksudkan dalam poin (a) di atas adalah sesuai dengan Undang-Undang tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran, Pasal 20.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 dinyatakan bahwa pendidikan agama diberikan di sekolah-sekolah negeri, sedangkan untuk sekolah-sekolah swasta di atur pada pasal 9 dalam instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan No.17678/Kab, tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan), N.K.I/9180 tanggal 16 Juli 1951 (Agama).
Sementara itu pada Peraturan Bersama Menteri PP dan K dan Menteri Agama Nomor 1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (pendidikan), Nomor K 1/652 tanggal 20 Januari 1951 (Agama)[8], diatur tentang peraturan pendidikan Agama di sekolah-sekolah yaitu:
Pasal 1   : Di tiap-tiap sekolah rendah dan sekolah lanjutan (umum dan kejuruan) diberi pendidikan agama.
Pasal 2   : 1. Di sekolah-sekolah rendah pendidikan agama dimulai pada kelas 4; banyaknya 2 jam dalam satu minggu.
2.  Di lingkungan yang istimewa, pendidikan agama pada dimulai pada kelas 1, dan jamnya dapat ditambah menurut kebutuhan. Tetapi tidak melebihi 4 jam seminggu, dengan ketentuan bahwa mutu pengetahuan umum bagi sekolah-sekolah rendah itu tidak boleh dikurangi dibandingkan dengan sekolah-sekolah rendah lain-lain lingkungan.
Pasal 3 : Di sekolah-sekolah lanjutan tingkatan pertama dan tingkatan atas, baik sekolah-sekolah umum maupun sekolah-sekolah kejuruan, diberi pendidikan agama 2 jam dalam tiap-tiap minggu.
Pasal 4 : 1. Pendidikan agama diberikan menurut agama murid masing-masing.
2.  Pendidikan agama baru diberikan pada sesuatu kelas yang mempunyai murid sekurang-kurangnya 10 orang, yang menganut suatu macam agama.
3.  Murid dalam satu kelas yang memeluk agama lain dari pada agama yang sedang diajarkan pada suatu waktu, boleh meninggalkan kelasnya selama pelajaran itu.
Sebagai bahan lanjutan dari peraturan bersama ini, maka pada tanggal 16 Juli 1951 dikeluarkan lagi peraturan bersama dengan nomor surat masing-masing: No. 17678/Kab, tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) dan No. K/1/1980 tanggal 16 Juli 1951 (Agama). Isi dari peraturan bersama ini adalah memperbaiki Peraturan Bersama yang dikeluarkan tanggal 20 Januari 1951. Namun pada prinsipnya, kedua peraturan tersebut (baik yang dikeluarkan tanggal 15 Januari 1951, maupun yang dikeluarkan tanggal 16 Juli 1951) adalah sama halnya terdapat perbaikan pada poin khusus tanpa ada perubahan yang prinsipil.
Selain itu, di bidang kurikulum pendidikan agama diusahakan penyempurnaan-penyempurnaan, dalam hal ini dibentuk suatu kepanitiaan yang dipimpin oleh KH. Imam Zarkasyi dari Pondok Pesantren Gontor Ponorogo. Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952. Sejak itulah dinyatakan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai Sekolah Rendah (Dasar) sampai Universitas, dengan pengertian bahwa murid berhak tidak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya.
B. Kebijakan Pendidikan Islam 1966 – 1988
Perkembangan pendidikan agama di Indonesia pada masa Orde Baru, ditandai dengan selesainya bangsa Indonesia dalam menumpas G30 S/PKI (1965-1966). Sejak saat itu pula pemerintah Indonesia semakin menunjukkan perhatiannya terhadap pendidikan agama, sebab disadari dengan bermentalkan agama yang kuatlah bangsa Indonesia akan terhindar dari paham komunisme. Untuk merealisasikan cita-cita tersebut maka sidang umum MPRS tahun 1966 berhasil menetapkan TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966.
Dalam TAP MPRS No. XXII/MPRS 1966 yang membahas tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan pasal 1 menjelaskan ”Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri”.[9] Dengan demikian, sejak tahun 1966, pendidikan agama menjadi materi pelajaran wajib dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia.[10] TAP MPRS inilah yang menjadi landasan pertama kali bagi penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran agama di seluruh sekolah di Indonesia pada zaman orde baru. Pasal-pasal lain, yang patut dilihat juga adalah pasal 2, 3 dan 4 yang menjadi ”fondasi” pemerintah orde baru dalam mengeluarkan berbagai kebijakan tentang pendidikan, khususnya yang terkait dengan Pendidikan Agama.[11]
Ketetapan MPRS ini diikuti dengan peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 23 Oktober 1967, dimana ditetapkan bahwa Kelas I dan II SD diberikan mata pelajaran agama 2 jam per minggu, kelas III 3 jam perminggu, kelas IV ke atas, 4 jam perminggu. Hal itu berlaku juga pada SMP dan SMA. Ketetapan MPRS di atas menjadi pijakan bagi penyusunan kurikulum SD, SMP, SMA, sekolah kejuruan dan perguruan tinggi, terutama menyangkut tujuan dan landasan pendidikan di masing-masing jenjang sekolah. Kurikulum SD, SMP dan SMA yang pertama di zaman orde baru adalah kurikulum yang dikeluarkan pada tahun 1968 untuk SD, 1967 untuk SMP dan SMA tahun 1968. Dalam kurikulum ini, semua mata pelajaran dibagi ke dalam tiga kelompok: Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila, Kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar dan Kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus. Pendidikan agama untuk SD, SMP dan SMA masuk dalam Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila.[12]
Materi pendidikan dan pengajaran agama masuk dalam kelompok Pembinaan jiwa Pancasila. Pada akhir tahun 1970 Menteri Agama berusaha mengubah kurikulum pengajaran agama yang bertujuan agar semua kelas tertentu di SD dan SMP mendapatkan 6 jam pelajaran agama per minggu. Akan tetapi usaha ini tidak berhasil karena pihak Departemen Pendidikan dan Pengajaran tidak menyetujuinya. Kendatipun demikian, usaha ini membuktikan bahwa kebijaksanaan Departemen Agama mengenai sekolah cukup konsisten dan terus menerus mewujudkan perluasan pendidikan agama di sekolah-sekolah, pendidikan agama telah menjadi pelajaran wajib, bukan alternatif sebagaimana di zaman Manipol Usdek. Sebagai pelajaran wajib, pendidikan agama juga menjadi bagian dari upaya pemerintah orde baru membangun manusia Pancasilais sebagaimana kategorisasi yang memasukkan pendidikan agama dalam ’Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila’.
Setelah pemilu 1973, secara politik pemerintah Orde Baru mengkonsolidasikan agenda-agenda pembangunan pendidikan melalui Tap MPR-RI No. IV/MPR 1973 yang berbunyi:[13]
  1. Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam sekolah dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
  2. Pembangunan di bidang pendidikan didasarkan atas Falsafah Negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang berpancasila dan untuk membentuk Manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggungjawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai Bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945.
Sebelum kurikulum pendidikan nasional tersebut dikeluarkan, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang peningkatan mutu Pondok Pesantren melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Agama dan Menteri Pertanian tangal 5 April 1972. Kemudian Kebijakan mengenai peningkatan mutu pendidikan pada Madrasah melalui SKB Tiga Menteri No.6 tahun 1975 dan No. 037/U/1975. Ada juga keputusan Meteri Agama No. 68 tahun 1974 mengenai kurikulum Pendidikan Agama Islam pada SD, SMP dan SMA[14].
Kuriklum 1975 juga menerapkan tiga penjurusan di SMA: IPA, IPS dan jurusan Bahasa, yang menggantikan 4 penjurusan sebelumnya berdasarkan kurikulum 1968 (sebagaimana disebut dalam laporan ini di atas). Pelajaran pendidikan Agama tidak mengalami perubahan, tetap dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran tiap minggu, tiap kelas dan untuk semua jurusan. Pola kurikulum PA 1975 ini kemudian dipakai sebagai dasar pijakan bagi penyempurnaan kurikulum 1984 nanti.[15]
Salah satu momentum nasional, yang mempengaruhi iklim pendidikan nasional, selain ketetapan MPR 1978 dan 1983 adalah keluarnya kebijakan pendidikan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) serta munculnya pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sejak Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Kedua ketetapan MPR tersebut sangat mempengaruhi iklim politik nasional yang mempengaruhi dunia pendidikan. Ketetapan MPR 1983 ini kemudian menjadi landasan munculnya pelajaran baru, yakni Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sejak SD—SM. Masuknya pengajaran P4 dalam bentuk penataran di SMP, SMA dan Perguruan Tinggi, serta pelajaran PMP dan PSPB dari SD—SMA dengan pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dan Bahasa Daerah[16].
Pada awal tahun 1980-an, pernah ada usul agar pemerintah memasukkan kurikulum perbandingan agama untuk di sekolah-sekolah lanjutan atas SMU, dan Madrasah Aliyah, atau yang setingkat. Namun usul ini diprotes oleh beberapa kalangan muslim karena dianggap dapat merusak dan melemahkan iman para anak didik.[17]
Pendidikan Agama dimasukkan ke dalam program pendidikan inti, sebagai mata pelajaran wajib bagi semua siswa SMA bersama-sama dengan 14 mata pelajaran lain: Pendidikan Pancasila, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, Bahasa dan Sastra Indonesia, Geografi, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Pendidikan Kesenian, Pendidikan Keterampilan, Matematika, Biologi, Fisika, Kimia, Sejarah dan Bahasa Inggris.[18]
Menjelang dan pasca lahirnya kurikulum 1984, terdapat sejumlah peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang berkaitan dengan masa libur sekolah dan pemakaian jilbab di lingkungan siswi-siswi SMA. Menteri Daoed Joesoef mengeluarkan keputusan yang menetapkan ‘bulan puasa sebagai waktu belajar’ dan larangan bagi siswi-siswi menggunakan jilbab ke sekolah. Keputusan yang dikeluarkan melalui SK Menteri P & K No. 0211/U/1978 itu menimbulkan kontroversi karena sebelum itu, bulan puasa adalah libur sebulan penuh. Kontroversi itu makin menghangat ketika Musyawarah Nasional ke-2 MUI akhir Mei 1980 kembali menghimbau Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk meninjau kebijakan libur puasa itu. Ketika mengadakan rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Menteri P & K Daoed Joesoef menegaskan bahwa di dalam bulan puasa sekolah tetap harus melakukan kegiatan belajar mengajar biasa.
Menteri P dan K Nugroho Notosusanto yang menggantikan Daoed Joesoef memberlakukan kebijakan baru berupa keharusan setiap murid baru untuk menandatangani surat pernyataan mengenai pendidikan agama yang akan diikuti. Argumen yang dikemukakan saat itu adalah mengidentifikasi kebutuhan (need assesment) guru agama di masing-masing agama. Kebijakan lain yang ‘sensitif’ keagamaan sampai akhir dekade 80-an adalah menyangkut pakaian jilbab bagi siswi yang beragama Islam. Banyak sekolah yang secara tegas melarang pengenaan pakai tersebut bagi murid perempuan, seperti yang menimpa 19 siswi kelas I – III SMA I Jakarta pada tahun 1985. Pada awalnya sekolah menjatuhkan sanksi skors terhadap siswi yang mengenakan jilbab dengan alasan melanggar tata tertib sekolah yang telah ditandatangani oleh orang tua murid sewaktu anaknya mau masuk ke sekolah tersebut, bahwa anaknya akan mentaati semua peraturan sekolah termasuk pakaian seragam. Namun setelah tidak ada kata sepakat dengan orang tua, para siswi itu kemudian dipindahkan ke sekolah lain, dan uang seragam mereka pun dikembalikan, mereka harus beli pakain seragam baru di tempat lain.
Ketentuan pakaian seragam itu sendiri didasarkan pada SK Dirjen Dikdasmen No. 052/C/Kep./D.82 yang disusul dengan Peraturan Pelaksanaan No.18306/C/D.83 tentang Pedoman Pakaian Seragam Anak Sekolah (PSAS). Salah satu poin dalam SK tersebut yang kemudian menjadi dasar bagi para kepala sekolah (negeri) untuk mengambil kebijakan di tingkatan sekolah adalah poin yang menyatakan: ”Pelaksanaan pakaian seragam di sekolahsekolah, bagi beberapa siswi yang melakukan penyimpangan karena keyakinan agama (bila ada), diberlakukan secara persuasif, edukatif dan manusiawi”[19]
C. Kebijakan Pendidikan Islam Sejak Lahirnya UUSPN No. 2/1989 – UUSPN No. 20/2003
Pemerintah Orde Soeharto menegaskan kembali tujuan dan cita-cita pendidikan nasional dengan dikeluarkannya TAP MPR No.II/MPR/1988 dan UU Sistem Pendidikan Nasional, No. 2 tahun 1989. Inilah UU Pendidikan yang pertama di zaman Orde Soeharto, dan juga UU Pendidikan yang ketiga di Republik ini, setelah sebelumnya telah terbit di zaman Soekarno, yakni Undang-undang Pendidikan dan Pengajaran (UUPP) No. 4 tahun 1950 dan UU No. 12/1954.
Ketetapan ini menjadi landasan dikeluarkannya UU Pendidikan No. 21 tahun 1989. UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ini diundangkan dan berlaku sejak 27 maret 1989. UU ini antara lain menetapkan:[20]
  1. Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (pasal 2)
  2. Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tangungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Pasal 4)
Tentang pendidikan dan pengajaran agama, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara UUPP No. 4 tahun 1950 dan UU No. 12/1954 dengan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU Pendidikan tahun 1950 dan 1954 dinyatakan bahwa ’dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut’, (pasal 20 ayat 1). Sementara dalam UU No. 2 1989, tidak lagi disebutkan ’dalam sekolah negeri’, yang berarti tidak lagi membedakan sekolah negeri dan sekolah swasta dalam memberlakukan pelajaran agama. Konsekuensi dari kebijakan ini pada dataran operasional pendidikan telah dikeluarkan beberapa peraturan pemerintah, ditahun berikutnya, yaitu PP (Peraturan Pemerintah) No. 27 tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah, PP No. 28 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, dan PP No. 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi (dan telah disempurnakan PP No. 22/1999). Semua peraturan tersebut mengatur pelaksanaan pendidikan agama di lembaga pendidikan umum.[21]
Menurut Karnadi Hasan, UU Pendidikan tahun 1989 dan beberapa Peraturan Pemerintah tersebut memberikan sebuah dampak terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam. Beliau menjelaskan bahwa sejak diberlakukannya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi bagian integral (sub-sistem) dari sistem pendidikan nasional. Sehingga dengan demikian, kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah sebangun dengan kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan nasional secara keseluruhan.[22]
Selain itu UU ini juga telah memuat ketentuan tentang hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Namun, SD, SLTP, SMU, SMK dan PLB yang berciri khas berdasarkan agama tertentu tidak diwajibkan menyelenggarakan pendidikan agama lain dari agama yang menjadi ciri khasnya.[23] Inilah poin pendidikan yang kelak menimbulkan polemik dan kritik dari sejumlah kalangan, dimana para siswa dikhawatirkan akan pindah agama (berdasarkan agama Yayasan/Sekolah), karena mengalami pendidikan agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Kritik itu semakin kencang, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, yang secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah-sekolah menengah dengan warna agama tertentu tidak diharuskan memberikan pelajaran agama yang berbeda dengan agama yang dianutnya.[24]
UU No. 2 tahun 1989 itu dan peraturan pemerintah tersebut dinilai oleh sebagian kalangan sebagai UU yang tidak memberikan ruang dialog keagamaan di kalangan siswa. Ia juga memberikan peran tidak langsung kepada sekolah untuk mengkotak-kotakkan siswa berdasarkan agama.[25]
Pada tahun 1994, kebijakan kurikulum pendidikan agama juga ditempatkan di seluruh jenjang pendidikan, menjadi mata pelajaran wajib sejak SD sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang pendidikan SD, terdapat 9 mata pelajaran, termasuk pendidikan agama. Di SMP struktur kurikulumnya juga sama, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pendidikan umum. Demikian halnya di tingkatan SMU, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pengajaran umum bersama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum. Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Matematika, IPA (Fisika, Biologi, Kimia), IPS (Ekonomi, Sosiologi, Geografi) dan Pendidikan Seni.[26]
Dari sudut pendidikan agama, Kurikulum 1994, hanyalah penyempurnaan dan perubahan-perubahan yang tidak mempengaruhi jumlah jam pelajaran dan karakter pendidikan keagamaan siswa, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Sampai rezim Orde Soeharto tumbang di tahun 1998, pendidikan di Indonesia, masih menggunakan UU Pendidikan tahun 1989, dan kuriklum 1994. Tumbangnya rezim ini menggulirkan gagasan reformasi, yang salah satu agendanya adalah perubahan dan pembaruan dalam bidang pendidikan, sebagaimana yang menjadi tema kritik para pemerhati pendidikan dan diharapkan oleh banyak pihak.
Selanjutnya pada tahun 2003 ditetapkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya disebut dengan  UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini pasal yang diperdebatkan dengan tegang adalah pasal 12 yang menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik. ”Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama,” (Pasal 12 ayat a). Dalam bagian penjelasan diterangkan pula bahwa pendidik atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat 3.[27]
UU ini juga sekaligus ”mengubur” bagian dari UU No. 2/1989 dan Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, tentang tidak wajibnya sekolah dengan latarbelakang agama tertentu (misalnya Islam) mengajarkan pendidikan agama yang dianut siswa (misalnya pelajaran agama Katolik untuk siswa yang beragama Katolik). UU Sisdiknas 2003 mewajibkan sekolah/Yayasan Islam untuk mengajarkan pendidikan Katolik untuk siswa yang menganut agama Katolik. UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 ini lah yang menjadi pijakan hukum dan konstitusional bagi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Pada pasal 37 ayat (1) disebutkan bahwa ’kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal.’ Dalam penjelasan atas pasal 37 ayat 1 ini ditegaskan, ’pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia’. Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum, juga diatur dalam undang-undang baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan, biaya pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum dan komponen pendidikan lainnya.[28]
Ketua Majelis Pertimbangan dan Pemberdayaan Pendidikan Agama dan Keagamaan, (MP3A) Departemen Agama menambahkan, pelaksanaan pendidikan agama harus memperhatikan lima prinsip dasar, di antaranya: Pertama, pelaksanaan pendidikan agama harus mengacu pada kurikulum pendidikan agama yang berlaku sesuai dengan agama yang dianut peserta didik. Kedua, pendidikan agama harus mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan dan rasa hormat internal agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain. Ketiga, pendidikan agama harus mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara.[29]
Perjalanan kebijakan pendidikan Indonesia  belum berakhir, pada tahun 2004 pemerintah menetapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kehadiran Kurikulum berbasis kompetensi pada mulanya menumbuhkan harapan akan memberi keuntungan bagi peserta didik karena dianggap sebagai penyempurnaan dari metode Cara belajar siswa Aktif (CBSA). Namun dari sisi mental maupun kapasistas guru tampaknya sangat berat untuk memenuhi tuntutan ini. Pemerintah juga sangat kewalahan secara konseptual, ketika pemerintah bersikeras dengan pemberlakukan Ujian Nasional, sehingga KBK segera diganti dan disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Hingga tulisan ini dibuat, pemerintah Republik Indonesia masih memberlakukan KTSP sebagai acuan pendidikan secara nasional. Namun penulis yakin bahwa ini bukan akhir dari segalanya, artinya kebijakan-kebijakan tentang dunia pendidikan di Indonesia akan terus disempurnakan, sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan bangsa Indonesia.
D. Penutup
Pada dasarnya pelaksanaan pendidikan agama; baik pada masa kini maupun di masa yang akan datang; masih tetap dibutuhkan. Hal ini selain karena secara fitrah manusia tidak dapat dilepaskan dari akar agama, juga pendidikan agama di sekolah dapat dijadikan penyeimbang dan alat ukur dalam rangka menciptakan manusia Indonesia yang melekatkan karakteristik takwa melalui proses pendidikan.
Untuk itu ada beberapa hal yang dapat penulis simpulkan dalam makalah sederhana ini, antara lain:
  1. Bahwa pendidikan agama masih diharapkan mampu menjadi tolok ukur bagi peserta didik dalam menciptakan manusia seutuhnya yang bertaqwa dan berakhlakul karimah.
  2. Dengan pendidikan agama diharapkan kepada peserta didik mampu mempertahankan diri (self dependence) dari semua tantangan kehidupan, baik dalam mempertahankan fungsi khalifah fil-ardh, harkatnya (ahsanut-taqwim), maupun dalam rangka memenuhi kebutuhan keagamaannya.
  3. Guna mewujudkan pendidikan agama yang berkualitas dan diminati, maka perlu dilakukan pembenahan, pembinaan dan pengembangan; baik dalam bidang kurikulum, metodologi, maupun kualitas pendidik. Paling tidak, dari segi kurikulum harus mampu berorientasi kepada tiga hal, yaitu:
(a) tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah);
(b) tercapainya tujuan hablum minannas (hubungan dengan manusia); dan
(c) tercapainya tujuan hablum minal-alam (hubungan dengan alam).

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik