Latar Belakang Munculnya Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia

Written By akademi la masia on Selasa, 28 Februari 2012 | 06.42

Pada awal perkembangan Islam di Indonesia, masjid merupakan satu-satunya pusat berbagai kegiatan; baik kegiatan keagamaan, sosial kemasyarakatan, termasuk kegiatan pendidikan. Bahkan kegiatan pendidikan yang berlangsung di masjid dan masih bersifat sederhana kala itu sangat dirasakan oleh masyarakat muslim, maka tidak mengherankan apabila mereka menaruh harapan besar kepada masjid sebagai tempat yang bisa membangun masyarakat muslim yang lebih baik. Awal mulanya masjid mampu menampung kegiatan pendidikan yang diperlukan masyarakat. Namun karena terbatasnya
tempat dan ruang, mulai dirasakan tidak dapat menampung animo masyarakat yang ingin belajar. Maka dilakukanlah berbagai pengembangan secara bertahap hingga berdirinya lembaga pendidikan Islam yang secara khusus berfungsi sebagai sarana menampung kegiatan pembelajaran sesuai dengan tuntutan masyarakat saat itu. Dari sinilah mulai muncul istilah surau, meunasah, dayah, dan juga pesantren.
1- Surau
Istilah surau sebagai lembaga pendidikan Islam muncul di Minangkabau, bahkan istilah ini sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orangtua yang uzur. Karena menurut ketentuan adat Minangkabau bahwa laki-laki yang tak punya kamar di rumah orangtua mereka, diharuskan tidur di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau memiliki peranan penting dalam pendewasaan generasi Minangkabau; baik dari segi ilmu pengetahuan maupun keterampilan praktis lainnya.
Setelah Islam datang, fungsi surau tidak berubah, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh Syeikh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Pada masa itu, eksistensi surau di samping sebagai tempat shalat juga digunakan Syekh Burhanuddin sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya tarekat (suluk) yang dikenal dengan nama tarekat Sattariyah. Melalui tarekat ini, Syekh Burhanuddin menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat luas di sekitar Minangkabau.
Semula, lembaga pendidikan surau ini hanya mengajarkan metode membaca Al-Qur’an dan beberapa ilmu Islam seperti aqidah, akhlak, dan ibadah. Waktunyapun dilaksanakan pada malam hari dengan sistem halaqah. Namun secara bertahap sesuai perkembangan zaman, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan, termasuk waktu pelaksanaan kegiatan belajar tidak lagi hanya pada malam hari saja, tapi sudah dilakukan pada siang hari. Dan sedikitnya ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu:
(1) Pengajaran Al-Qur’an.
Untuk mempelajari Al-Qur’an ada dua macam tingkatan, yakni:
a- Pendidikan Rendah, materi pelajaran pada pendidikan rendah ini mencakup:
  • pelajaran memahami ejaan huruf Al-Qur’an dan membaca Al-Qur’an yang dilaksanakan dengan metode praktik dan latihan;
  • pelajaran cara berwudhu dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode praktik dan menghafal;
  • pelajaran tentang keimanan, terutama yang berhubungan dengan sifat dua puluh yang dipelajari dengan metode menghafal melalui lagu.
  • pelajaran akhlak yang dilakukan dengan metode cerita tentang Nabi-Nabi dan orang-orang shaleh.
b- Pendidikan Atas;
Materi pelajaran pada pendidikan atas ini mencakup pendidikan membaca Al-Qur’an dengan lagu, kasidah, barzanji, tajwid, dan kitab perukunan.
Lama pendidikan untuk kedua jenis pendidikan tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa baru dapat dikatakan tamat bila ia telah mampu menguasai setiap materi yang diajarkan dengan baik.
(2) Pengajian Kitab.
Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi: ilmu nahwu dan shorf, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya. Metode pengajarannya adalah dengan membaca sebuah Kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, setelah itu baru diterangkan maksudnya. Adapun penekanan pembelajaran pada jenjang ini mengandalkan kekuatan hafalan. Maka agar siswa mampu menghafal dengan cepat, metode pengajarannya dilakukan melalui cara melafalkan materi dengan lagu-lagu.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, posisi surau sangat strategis baik dalam proses pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam. Bahkan surau telah mampu mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan semangat nasionalisme, terutama dalam mengusir penjajah Belanda. Namun, seiring perkembangan zaman, metode pengajaran surau dianggap sudah ketinggalan zaman, sehingga harus dimodernisasi. Maka tak heran, bila pendidikan surau saat ini sangat sulit dijumpai.
2- Meunasah
Istilah meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam dikenal pada masyarakat Aceh. Sebagian orang mengatakan bahwa istilah meunasah ini berasal dari kata Arab, yaitu Madrasah. Meunasah secara fisik merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap gampong yang berbentuk seperti rumah panggung tetapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan berdiskusi serta membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Sama seperti kebiasaan anak laki-laki di Minangkabau yang tinggal di surau, maka para anak muda serta laki-laki yang belum menikah di Aceh juga menjadikan meunasah sebagai tempat bermalam mereka. Sehingga tak heran, bila setiap meunasah memfasilitas diri dengan beberapa rumah tinggal yang terletak di sekitar meunasah dengan dilengkapi sumur, bak mandi, dan WC. Di sinilah anak-anak sejak usia dini di gampong, dididik dengan berbagai ilmu pengetahuan agama dan kemasyarakatan.
Meunasah dipimpin oleh seorang teungku meunasah. Biasanya, setiap kampung di Aceh memiliki minimal satu meunasah. Gampong yang memiliki beberapa meunasah, tetap dipimpin oleh satu teungku, sebagai pasangan dua sejoli dengan keuchik. Maksudnya, walau dalam gampong terdapat beberapa meunasah, kedudukan keuchik dan teungku meunasah tetap seperti ayah dan ibu (yah dan ma) yang memiliki tugas dan wewenang masing-masing serta saling membantu satu sama lain.
Mengenai peran meunasah, Syofwan Idris (2001) sebagaimana yang dikutip oleh Sulaiman Tripa dalam artikel yang dimuat di http://www.acehinstitute.org menyebutkan bahwa Meunasah sebenarnya bukan saja lembaga pendidikan tetapi merupakan lembaga yang banyak sekali fungsinya dalam masyarakat gampong. Di sini orang mengaji, berjama’ah, bermusyawarah, mengadili pencuri, mengadakan dakwah, mengadakan kenduri, sebagai pos keamanan dan tempat tidur anak muda yang belum kawin, dan duda yang berpisah dengan isterinya. Dan lembaga seperti ini memberikan pendidikan yang sangat komprehensif, aktual dan terpadu kepada anak-anak.
Sebenarnya dalam budaya adat Aceh, peran meunasah dan masjid merupakan satu kesatuan yang tak pernah bisa dipisahkan. Kedua lembaga ini merupakan simbol/logo identitas keacehan yang telah berkontribusi fungsinya membangun pola dasar SDM masyarakat menjadi satu kekuatan semangat yang monumental, historis, herois dan sakralis. Fungsi lembaga ini memiliki muatan nilai-nilai aspiratif, energis, Islamis, menjadi sumber inspiratif, semangat masyarakat membangun penegakan keadilan dan kemakmuran serta menentang kedhaliman dan penjajahan. Fungsi-fungsi itu antara lain :
  1. Fungsi Meunasah, sebagai tempat ibadah/shalat berjamaah; dakwah dan diskusi; musyawarah/mufakat; penyelesaian sengketa/damai; pengembangan kreasi seni; pembinaan dan posko generasi muda; forum asah terampil/olahraga; serta sebagai pusat ibukota/pemerintahan gampong.
  2. Fungsi Mesjid, sebagai tempat ibadah/Jum`at; pengajian pendidikan; musyawarah/ penyelesaian sengketa/damai; dakwah; pusat kajian dan sebaran ilmu; acara pernikahan; serta sebagai simbol persatuan dan kesatuan umat.
Dari poin-poin di atas menunjukkan bahwa fungsi meunasah dan masjid memiliki peran yang sama, yakni sebagai lembaga pengkaderan dan pembinaan umat yang diharapkan mampu melahirkan generasi serta masyarakat berkualitas guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang aman damai, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar, keberadaan meunasah sangat mempunyai arti di Aceh. Semua orangtua memasukkan anaknya ke meunasah. Dengan kata lain, meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang Aceh mempunyai fanatisme agama yang tinggi. Dan bahkan hingga saat ini, eksistensi meunasah tetap dipertahankan sebagai lembaga pendidikan Islam non formal.
Selain meunasah, di Aceh juga sudah ada dan berkembang sejak lama lembaga pendidikan Islam yang bernama “Dayah”. Dayah adalah kata yang digunakan untuk sebuah lembaga pendidikan Islam yang sama dan setara dengan pesantren. Dan sehubungan dengan kesamaan makna dan fungsi antara dayah dan pesantren, maka untuk pembahasan mengenai “dayah” akan penulis rangkumkan dalam pembahasan pesantren.
3- Pesantren
Menurut asal katanya, pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian, pesantren artinya tempat para santri. Sedangkan menurut Sudjoko Prasojo bahwa Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara non-klasikal, dimana seorang kiayi mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Bagi masyarakat Aceh, istilah pesantren lebih dikenal dengan nama “dayah”.
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam asli Indonesia dan memiliki akar sangat kuat dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan sistem pendidikan pesantren bahkan telah ada jauh sebelum kedatangan Islam di negeri ini, yaitu pada masa Hindu-Budha. Pada saat itu pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang berfungsi mencetak elit agama Hindu-Budha. Sehingga dalam hal ini tak heran bila C.C. Berg berpendapat bahwa istilah “santri” itu berasal kata India Shastri, berarti orang-orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata Shastri sendiri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku Agama atau pengetahuan. Terlepas benar tidaknya istilah tersebut, yang jelas kehadiran lembaga pendidikan pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat Islam hingga saat ini, serta telah menjadi pusat berlangsungnya proses pembelajaran ilmu-ilmu keislaman bagi masyarakat Indonesia. Bahkan dalam perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang tahan terhadap berbagai arus modernisasi. Dengan kata lain, pesantren dapat memposisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang mampu bersaing dan sekaligus bersanding dengan sistem pendidikan modern yang bermunculan dari waktu ke waktu.
Bertitik tolak dari akar sejarah pesantren atau sebut saja asal-usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa abad 16 – 15 yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Keunikan yang dimaksud adalah hampir semua pesantren di Indonesia ini dalam mengembangkan pendidikan kepesantrenannya berkiblat pada ajaran Walisongo. Kemudian seiring perkembangan zaman dan keilmuwan yang dimiliki oleh para pendiri pesantren sesudahnya, maka corak pesantren-pesantren di Indonesia mulai terlihat bervariasi.
Meski begitu, secara umum ciri-ciri pesantren dapat kita lihat sebagai berikut:
  • ada Kiyai, yang mengajar dan mendidik;
  • ada santri, yang belajar dari kiyai;
  • ada masjid, tempat untuk menyelenggarakan pendidikan, shalat berjamaah dan sebagainya; dan
  • ada pondok, tempat untuk tinggal para santri.
Di samping ciri-ciri di atas, ada juga pesantren yang memiliki fasilitas-fasilitas pendukung lainnya, seperti sarana olahraga dan ruang keterampilan dan pelatihan, yang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan pesantren itu sendiri.
Mengenai materi pelajaran dan metode pengajaran, biasanya pesantren mengajarkan kitab-kitab dalam bahasa Arab (kitab kuning), materi tersebut mencakup pelajaran Al-Qur’an, tajwid serta tafsir, aqa’id dan ilmu kalam, fiqih dan ushul fiqh, hadits dan musthalahul hadits, bahasa Arab dengan ilmu-ilmu qawaidhnya, tarikh, mantiq dan tasawuf. Dan metode yang digunakan adalah metode ceramah, hafalan, bahkan ada juga yang menggunakan sistem klasikal dengan metode pembelajaran yang bervariasi. Di beberapa pesantren, ada yang selain memberikan pelajaran dan pendidikan agama, juga memberikan wiridan, seperti Naqsabandiyah, Syatariyah, dan lain-lain. Ada pula yang menambahkan kegiatan-kegiatan di luar pendidikan formal, seperti pramuka, ketrampilan, olahraga dan sebagainya, sesuai kemampuan masing-masing pondok pesantren. Meski begitu, satu hal yang sama dari pondok-pondok pesantren tersebut adalah pada penekanan pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang menjadi ciri khas dari pesantren tersebut.
Selain itu, ada beberapa ciri dan keunikan yang sangat menonjol dalam kehidupan pesantren, sehingga membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya. Sedikitnya ada delapan ciri pendidikan pesantren tersebut, yaitu:
  • Adanya hubungan yang akrab antara santri dan kiayi.
  • Tunduknya santri kepada kiyai.
  • Hidup hemat dan sederhana.
  • Semangat hidup mandiri.
  • Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan.
  • Penekanan pada pendidikan disiplin.
  • Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan.
  • Santri memperoleh kehidupan agama yang baik.
Sebagai lembaga pendidikan yang masih eksis hingga hari ini, pesantren memiliki banyak PR dan tantangan dalam menghadapi arus informasi dan globalisasi yang dewasa ini susah terbendung. Dalam kondisi seperti itu, pesantren tidak boleh menutup diri dari arus perubahan, namun tidak boleh juga terbawa dan tergilas oleh arus perubahan tersebut, melainkan harus mampu memposisikan diri secara proporsional. Sehingga dengan begitu, pesantren tetap mampu hadir di setiap zaman tanpa harus merubah warna dan baju yang menjadi simbol serta karakteristiknya. Dengan peran strategis pesantren yang terus dipertahankan, diharapkan dapat mengembalikan kejayaan umat Islam yang pernah menyinari dunia dengan ilmunya.
Kebangkitan Pesantren-Pesantren Modern
Sudah banyak diketahui bahwa peran pesantren secara konvensional adalah melakukan proses transfer ilmu agama Islam, mencetak kader-kader ulama’, dan mempertahankan tardisi. Dalam perkembangan modern, pesantren-pesantren menghadapi tantangan baru, di mana tidak bisa mengelak lagi dari proses modernisasi dewasa ini. Dampak dari modernisasi setidaknya mempengaruhi pesantren tersebut dari berbagai aspek. Di antaranya adalah sistem kelembagaan, orientasi hubungan kiyai-santri, kepemimpinan dan peran pesantren itu sendiri.
Orientasi peran pesantren sangat dipengaruhi oleh faktor internal pesantren, terutama pandangan dunia kiyainya; dan faktor ekstrenal, yaitu perkembangan dan tuntutan zaman (sebut saja pengaruh globalisasi). Dan kedua faktor inilah yang mempengaruhi perkembangan dan orientasi pesantren tersebut.
Beberapa pesantren yang awalnya hanya mengajarkan kitab-kitab kuning dan bertujuan mencetak kader ulama’, kemudian berubah dengan menawarkan sekolah formal, seperti madrasah atau sekolah; adalah bukti bahwa pesantren telah mengalami perubahan orientasi. Perubahan ini terutama sekali dipengaruhi oleh faktor kiyai, yang dalam pesantren tradisional adalah pemilik sekaligus pemimpin absolut dari pesantren tersebut. Persinggungan kiyai-kiyai tradisional dengan budaya luar, baik melalui ibadah haji maupun kegiatan lainnya, turut menyumbangkan gagasan pembaruan yang dilakukan kiyai. Para Kiyai yang sudah ”modern” itu beranggapan bahwa santri tidak cukup dibekali dengan pengetahuan agama semata, melainkan harus memiliki tambahan pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupannya ketika terjun dan kembali kemasyarakat
Beberapa pesantren yang membuka sekolah dan madrasah formal, selain karena gagasan pembaruan kiyai, juga disebabkan karena tuntutan zaman. Oleh karenanya pesantren-pesantren yang membuka sekolah dan madrasah sedikit banyak dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat tentang tenaga profesional yang memiliki akhlak mulia. Dan agar terlihat berbeda dengan pesantren tradisional, mereka meletakkan kata “modern” pada penyebutan nama pesantren tersebut.
Sesungguhnya dalam perkembangan modern seperti saat ini, tuntutan peran pesantren semakin kompleks. Problem-problem sosial ekonomi yang terjadi di masyarakat, seperti masalah disintegrasi, kemiskinan, kemunduran akhlak sudah semakin terbuka dan merajalela di masyarakat. Pesantren diharapkan tidak saja mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan faham keagamaan, tetapi juga diharapkan dapat terlibat menyelesaikan masalah-masalah sosial tersebut. Dan sejauh pengamatan penulis, pesantren yang berlogokan modern ini memiliki banyak peluang dan kesempatan untuk terlibat aktif dalam menuntaskan berbagai problematika masyarakat. Apalagi pesantren modern ini memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat karena sifat egalitar dan kesahajaannya yang memungkinkannya dapat berinteraksi secara intensif dengan masyarakat. ( by: Indra El Muda )

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik